Info Terbaru 2022

Hubungan Hadits Dengan Al-Quran

Hubungan Hadits Dengan Al-Quran
Hubungan Hadits Dengan Al-Quran
JUDUL : HUBUNGAN HADITS DENGAN AL-QURAN
BAYAN-AT TAQRIR
I. Latar Belakang
Hadits yaitu perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW, yang tertuntun wahyu (al-Qur’an), sehinga kedudukan hadits dalam khazanah sumber aturan Islam menjadi sesuatu yang tidak sanggup di pisahkan dari sumber Islam yang pertama yakni al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa sesudah kitab suci al-Qur’an, sebagai sumber Islam yang kedua yaitu hadis. Oleh alasannya yaitu itu, sebagai umat Islam harus sanggup mempelajari dan berusaha untuk melakukan segala sesuatu yang ada di dalam hadits tersebut. Apalagi di dalamnya banyak terdapat petunjuk, perintah, maupun larangan dari Rasulullah Muhammad SAW.
Di samping itu, kehadiran hadits sebagai sumber pedoman Islam yang kedua dan tampil untuk menjelaskan (bayan) keseluruhan isi al-Qur’an kaum muslim setuju bahwa hadits merupakan aturan yang kedua sesudah al-Qur’an. Hal ini berdasarkan kepada kesimpulan yang diperoleh dari dalil-dalil yang memberi petunjuk perihal kedudukan dan fungsi hadits, maka dengan demikian kewajiban umat Islam harus dijadikan aturan (hujjah) dalam melakukan perintah al-Qur’an yang masih ijma’ dan hadits sebagai penjelas untuk melaksanakannya yaitu melakukan apa yang di contohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW berarti mentaati perintah Allah.



II.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah tertera di atas sanggup mengambil beberapa rumusan dilema sebagai berikut :
1.    Apa yang dimaksud bayan al-Taqrir ?
2.    Bagaimana berdasarkan beberapa ulama’ perihal bayan al-Taqrir ?
III.Pembahasan
1.      Bayan al-Taqrir
Bayan al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-Ta’qid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud bayan ini ialah, memutuskan dan memperkuat apa yang telah di terangkan di dalam al-Qur’an, fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu teladan hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi sebagai berikut :[1]

فاذا رايتم الهلا ل فصو مو اواذا رايتموه فأفطروا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat (Ru’yah) bulan maka berpuasalah, juga apabila melihat (Ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR. Muslim)
Hadits ini tiba mentaqrir ayat al-Qur’an di bawah ini :

فمن شهد منكم الشّهر فليصمه ( البقرة ٢ : ١٨٥)
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpusa”. (QS. Al-Baqarah (2) : 185)
Contoh lain, hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut :

قال رسول الّله صلّى اللّه عليه وسلّم لاتقبّل صلاة من احدث حتّى يتوضع (رواه البخارى)
“Rasulullah SAW telah bersabda : tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudlu”. (HR. Bukhari)
Hadits ini mentaqrir QS. Al-Maidah (5) : 6 mengenai keharusan berwudlu saat seseorang akan mendirikan shalat, ayat yang dimaksud berbunyi :

يأ ايّها الّذ ين أمنوا إذا قمتم إلى الصّلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءسكم وأرجلكم إلى الكعبين (المائده ٥ : ٦ )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kau hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka dan tanganmu hingga dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basulah) kakimu hingga dengan mata kaki”. (QS. Al-Maidah (5) : 6)
Juga hadits Rasulullah SAW perihal dasar-dasar Islam yang diriwayatkan Ibnu Umar yang berbunyi :[2]

قال رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم بني الاسلام على خمس شهادة انّ لااله الّااللّه وانّ محمدارسول اللّه وإقام الصّلاة وايتاء لزّكاة والحجّ وصوم رمضان (رواه البخارى)
“Rasulullah SAW telah bersabda : Islam dibangun atas lima dasar yaitu mengucapkan kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa pada bulan ramadhan”. (HR. Bukhari)
Hadits ini mentaqrir ayat-ayat al-Qur’an perihal syahadat (QS. Al-Hujarat (49) : 15)

انّما المؤمنون الّذين امنوا باللّه ورسوله ثم لم ير تا بوا وجاهدوا باموالهم وانفسهم فى سبيل اللّه اولئك هم الصّدقون ( الحجرات ٤٩ : ١٥ )
“Sesunguhnya orang-orang mukmin yang sesungguhnya yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS. Al-Hujarat (49) : 15)
Tentang shalat dan zakat (QS. An-Nur (24) : 56)

     واقيمواالصّلوة واتواالزّكوة واطيعواالرّسول لعلّكم ترحمون (النور ٢٤ : ٥٦
 “Dan laksanakan shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), biar kau diberi rahmat”. (QS. An-Nur (24) : 56)
Tentang haji (QS. Ali-Imron (3) : 97)
فيه اتت بيّنت مّقا م ابراهيم ومن دخل كان امنا واللّه على النّاس حجّ البيت من استطاع اليه سبيلا ومن كفر فان اللّه غنيّ عن العالمين ( ال عمران ٣ : ٩٧)
“Di sana terdapat gejala yang jelas,(diantara) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan di antara kewajiban insan terhadap Allah yaitu melakukan haji ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang bisa mengadakan perjalanan ke sana, barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (QS. Ali-Imran (3) : 97)
Abu Hammadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’qid ini dengan istilah bayan Al-Muwafiq li al-Nas al-Kitab. Hal ini di karenakan munculnya hadits-hadits ini sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an.
Suatu kandungan dalam hadits itu setara dengan al-Qur’an, baik dalam mujmal (global/umum) dan tafshili (terperinci). Oleh alasannya yaitu itu, hadits ini tidak bersifat menambah atau menjelaskan apa yang terdapat dalam al-Qur’an, akan tetapi hanya sekedar menetapkan, memperkokoh, dan mengungkapkan kembali apa yang terdapat dalam al-Qur’an.[3]  Seperti hadits berikut:
     ياأيّهاالنّاس توبو االى اللّه واستغفروه فإنّى اتوب فى اليوم مائة مرّة (رواه مسلم)
 “Wahai para manusia, bertaubatlah kau sekalian kepada Allah dan mohonlah ampunan kepadanya, alasannya yaitu sesungguhnya saya bertaubat seratus kali setiap hari”. (HR. Muslim)
Hadits taqriri yaitu hadits berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW. Terhadap apa yang tiba atau dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi Muhammad SAW. Membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberi penegasan, apakah dia membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sobat sebagai dalil taqriri, yang sanggup dijadikan hujjah atau memiliki aturan untuk memutuskan suatu kepastian syara’.[4]
Diantara teladan hadits taqriri yaitu perilaku Rasulullah SAW. Yang membiarkan para sobat dalam menafsirkan sabdanya perihal shalat pada suatu keterangan, yaitu:
                                           لايصلّين أحد العصر إلّا فى بني قريضة (رواه البخارى)
“Janganlah seseorangpun shalat asar, kecuali nanti di Bani Quraidhah”. (HR. Bukhari)
Sebagai sobat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melakukan shalat asar. Segolongan sobat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga sanggup shalat tepat pada waktunya. Sikap para sobat ini di biarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.[5]

2. Para Ulama’ berbeda pandapat perihal klarifikasi hadits terhadap al-Qur’an.
a.      Menurut Ulama’ Ahl al-Ra’y, penjelas hadits terhadap al-Qur’an yaitu sebagai berikut :
Bayan al-Taqrir yaitu keterangan yang didatangkan dari sunnah untuk memperkokoh apa yang telah diterangkan oleh al-Qur’an.
b.      Menurut Imam Malik, Bayan Al-Hadits
Bayan al-Taqrir yaitu memutuskan dan memperkokoh aturan al-Qur’an, bukan men-tawdhih (memperjelas), men-taqyid (membatasi) yang mutlak atau men-takhsish (mengkhususkan) yang ‘amm (umum).[6]

IV.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas sanggup disimpulkan bahwa bayan al-Taqrir disebut juga bayan al-Ta’qid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud dengan bayan ini ialah memutuskan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadits ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
1.      Menurut Ulama’ Ahl-al-Ra’y penjelas hadits terhadap al-Qur’an
Bayan al-Taqrir yaitu keterangan yang didatangkan oleh sunnah atau memperkokoh apa yang telah diterangkan oleh al-Qur’an.
2.      Menurut Imam Malik, Bayan al-Hadits.
Bayan al-Taqrir yaitu memutuskan dan mengokohkan aturan al-Qur’an, bukan men-tawdhih (memperjelas), men-taqyid (membatasi), men-takhshish (mengkhususkan) yang ‘amm (umum) 

V.Penutup
Demikianlah pemaparan makalah kami mengenai fungsi hadits terhadap al-Qur’an untuk mata kuliah ulumul hadits. Tentunya masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah kami ini, Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pada pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Akhir kata semoga makalah kami sanggup bermanfaat bagi pembaca. Amin
DAFTAR PUSTAKA

Munzier Suparta, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah An-Nabawiyah wa nakanatuh fi al-              Tasyri’, Dar Al Qoumiyah li Ath-thiba’ah wa An-Nasyr, Kairo, 1965
HM. Mutsna, Qur’an Hadits MA, Toha Putra, Semarag, 2002
Suyadi Agus dan Solahudin Agus, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996
Noor Sulaiman, Ilmu Hadits, Perseda Pres, Jakarta, 2008




[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm.58-60
[2] Abbas Mutawali Hamadah, As-sunnah An-Nabawiyah wa nakanatuh fi Al-Tasyri’, Dar Al-Qoumiyah li Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr, Kairo,1965
[3] HM. Matsna, Op. Cit, hlm. 78
[4] Suyadi Agus dan Sholahudin Agus, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, 2008, hlm. 22-23
[5] Untang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm.15
[6] Noor Sulaiman, Ilmu Hadis, Persada Pres, Jakarta, 2008
Advertisement
Next
This Is The Current Newest Page

Iklan Sidebar

Adsense 728x90