Makalah Metodologi Pendidikan Islam ( METODOLOGI STUDI ISLAM METODOLOGI DAN PENGEMBANGAN ILMU-ILMU KEISLAMAN ) - Selamat tiba diblog makalah-pedia.blogspot.com. Apakah kalian ketika ini sedang mencari informasi perihal '' Makalah Metodologi Pendidikan Islam '' ? diartikel kali ini kami akan memperlihatkan refernsi untuk sahabat sahabat semua untuk dijadikan sebagai referensi atau referensi.
Makalah Metodologi Pendidikan Islam ini bianya dipakai sebagai tugak perkuliahan , nah jikalau kalian ketika ini sedang mencari contoh Makalah Metodologi Pendidikan Islam , kalian tepat sekali berkunjung disini.
Makalah Metodologi Pendidikan Islam ini bianya dipakai sebagai tugak perkuliahan , nah jikalau kalian ketika ini sedang mencari contoh Makalah Metodologi Pendidikan Islam , kalian tepat sekali berkunjung disini.
Berikut Makalah Metodologi Pendidikan Islam :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya, sehingga makalah ini sanggup terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.
Penulisan makalah ini dibentuk yaitu sebagai media pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo Metro dalam rangka memenuhi kiprah diperguruan tinggi yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
Penyusunan menyadari bahwa dalam penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan kesannya semoga sanggup bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.
Metro, Oktober 201XX
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL – 1
KATA PENGANTAR – 2
DAFTAR ISI – 3
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang – 4
b. Rumusan Masalah – 5
c. Tujuan Penulisan – 5
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian Metodologi Studi Islam – 6
b. Manfaat Metodologi – 7
c. Studi Islam – 9
d. Pengertian Ilmu – 11
e. Pengertian Ilmu Keislaman – 13
f. Awal Perkembangan Studi Islam – 13
g. Pengembangan Ilmu Keislaman – 14
h. Pengembangan Ilmu Keislaman di Indonesia – 15
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan – 16
DAFTAR PUSTAKA – 17
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ; agama yaitu wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meniliti agama. Sebab, antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa disinkronkan.[1]
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini sanggup menjamin terwujudnya kehidupan insan yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai aneka macam kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya,
Al Qur’an dan Hadist, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai kebijaksanaan pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, menyayangi kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Membahas perihal ilmu itu tidak akan ada habisnya, lantaran ilmu merupakan salah satu dari sifat utama Allah SWT dan satu-satunya kata yang sanggup dipakai untuk membuktikan pengetahuan Allah SWT. Dalam membahas ilmu tersebut tidak terlepas dari yang namanya pendekatan, pengkajian, serta metodologi, ketiga kata-kata ini saling mensugesti antara satu dengan yang lain. Setiap pembahasan dari suatu disiplin ilmu apalagi yang saling bekerjasama antara satu dengan yang lainnya sangat membutuhkan pengkajian, pendekatan ataupun metodologi sehingga ilmu tersebut sanggup dipergunakan sesuai dengan fungsinya. Apalagi ilmu yang bekerjasama dengan agama Islam, agama yang diridhai Allah dan agama yang menjadi rahmatan lil ‘alamin, hal ini sesuai dengan kelima ayat Alqur’an dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yakni surah Al-‘Alaq ayat 1-5 yang menjelaskan bahwa anutan Islam semenjak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting.
Sebagian andal membuktikan bahwa perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi dimana mereka hidup, berdasarkan pendekatan ini hadirnya Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral mengakibatkan semua situasi dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi Muhammad[2]
Padahal, di sisi lain ilmu keislaman mengemban kiprah penting, yakni bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya insan (SDM) biar umat Islam sanggup berperan aktif dan tetap survive di era globalisasi. Dalam konteks ini Indonesia sering menerima kritik, lantaran dianggap masih tertinggal dalam melaksanakan pengembangan kualitas manusianya. Padahal dari segi kuantitas Indonesia mempunyai sumber daya insan melimpah yang lebih banyak didominasi beragama Islam.
b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Metodologi Studi Islam ?
2. Apa Manfaat Metodologi ?
3. Apa Studi Islam ?
4. Apa Pengertian Ilmu ?
5. Apa pengertian Ilmu Keislaman ?
6. Bagaimana Awal perkembangan studi Islam ?
7. Bagaimana Pengembangan Ilmu Keislaman ?
8. Bagaimana Pengembangan Ilmu Keislaman di Indonesia ?
c. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Metodologi Studi Islam.
2. Mengetahui Manfaat Metodologi.
3. Mengetahui Studi Islam.
4. Mengetahui Mengertian Ilmu.
5. Mengetahui Pengertian Ilmu Keislaman.
6. Mengetahui Awal Perkembangan Studi Islam.
7. Mengetahui Pengembangan Ilmu Keislaman
8. Mengetahui Pengembangan Ilmu Keislaman di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Metodologi Studi Islam
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode yaitu suatu ilmu perihal cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara memberikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah “metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan logos, methodos berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelsaikan sesuatu, sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala dan wawasan. Dengan demikian metodologi yaitu metode atau cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian.[3]
Metodologi yaitu kasus yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu, metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran yaitu lebih penting dari filsafat, sains, atau hanya mempunyai bakat.[4]
Cara dan mekanisme untuk memperoleh pengetahuan sanggup ditentukan berdasarkan disiplin ilmu yang dikajinya, oleh lantaran itu dalam menentukan disiplin ilmu kita harus menentukan metode yang relevan dengan disiplin itu, kasus yang dihadapi dalam proses verivikasi ini yaitu bagaimana mekanisme kajian dan cara dalam pengumpulsn dan analisis data biar kesimpulan yang ditarik memenuhi persyaratan berfikir induktif. Penetapan mekanisme kajian dan cara ini disebut metodologi kajian atau metodologi penelitian.
Selain itu, metodelogi yaitu pengetahuan perihal metode-metode, jadi metode penelitian yaitu pengetahuan perihal aneka macam metode yang dipakai dalam penelitian.[5] Louay safi mendefinisaikan metodologi sebagai bidang peenelitian ilmiah yang bekerjasama dengan pembahasan perihal metode-metode yang dipakai dalam mengkaji fenomena alam dan insan atau dengan kata lain metodologi yaitu bidang penelitian ilmiah yang membenarkan, mendeskripsikan dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai metode ilmiah.[6]
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh lantaran itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima (well received) tetapi berupa berupa kajian perihal metode.
Dalam metodologi dibicarakan kajian perihal cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi belahan dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.
Metodologi yaitu ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) klarifikasi serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam dipakai ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa dipakai dalam studi islam. Sebut saja contohnya kajian atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.
b. Manfaat Metodologi
Untuk memahami Islam (menggali anutan Islam) secara substantive sehingga anutan Islam bisa menjadi solusi alternative dalam segala situasi dan kondisi (shalih li kulli zaman wa makan). Pentingnya Metodologi sebagai faktor mendasar dalam renaissans, bahkan dikatakan yang menyababkan stagnasi dan kemajuan yaitu bukan lantaran ada atau tidaknya orang jenius, melaikan lantaran metode penelitian dan cara melihat sesuatu[7]
Maka metode yang tepat yaitu kasus pertama yang harus diusahakan dalam berbgai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga berdasarkan Mukti Ali, Metodologi yaitu kasus yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.[8]
Oleh lantaran itu, metode mempunyai peranan sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran. Demikian pentingnya metodologi ini, Mukti Ali menyampaikan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah lantaran ada atau tidak adanya orang-orang yang jenius, melainkan lantaran metode penelitian dan cara melihat sesuatu.[9] Untuk melihat ini kita sanggup mengambil referensi yang terjadi pada abd keempat belas, lima belas dan enam belas Masehi.
Aristoteles (384-322 SM.) sudah barang tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626)[10]; dan Plato (366-347 SM.) yaitu lebih jenius dari Roger Bacon[11] (1214-1294). Pertanyannya apakah yang mengakibatkan dua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato atau Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa periode pertengahan, bahkan mengakibatkan stagnasi dan kemandegan? Dengan perkataan lain, mengapa orang-oranf jenius menyebabkan
kemandegan dan stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang biasa saja sanggup membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya yaitu lantaran orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasaanya biasa, mereka sanggup menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya, maka merka tidak akan sanggup memanfaatkan kejeniusannya. [12]
Uraian tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan yang ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilh metode yang akan dipakai untuk kerjanya dalam ilmu pengetahuan. Metode dan berpikir yang benar tak ubahnya menyerupai orang yang berjalan. Seorang yang lumpuh sebelah kakinya dan tidak sanggup berjalan dengan cepat daripada jago lari yang mengambil jalan yang terjal lagi berbelok-belok. Betapaun tepatnya jago lari itu, ia akan tiba terlambat pada daerah yang dituju, sedangkan orang lumpuh sebelah kakinya yang menentukan jalan yang benar akan hingga kepada tujuan dengan segera.
Dari referensi ini semakin terlihat perihal pentingnya metode dalam melaksanakan suatu kegiatan. Metode yang tepat yaitu kasus pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti yaitu menentukan metode yang paling tepat untuk riset dan penelitiannya. [13]
Selain itu penguasaan metode yang tepat sanggup mengakibatkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Para lulusan Perguruan Tinggi Islam, khususnya pada jenjang strata 1 masih dinilai lemah dalam menguasi metodologi. Hal demikian terlihat pada ketika yang bersangkutan menulis karya ilmiah semacam skripsi. Keadaan tersebut antara lain disebabkan lantaran metode penyajian kuliah lebih banyak menempatkan mahasiswa pada posisi pasif.
Mereka hanya diperintahkan datang, mencatat, memahami, dan menghafal. Sedangkan acara yang mendorong mereka membaca, menelaah, dan meneliti dengan memakai metode tertentu kurang dilatih.
Kini disadari bahwa kemampuan dalam menguasi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya sanggup dikembangkan.
c. Studi Islam
Di kalangan para andal masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam (agama) sanggup dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Amin Abdullah menyampaikan jikalau penyelanggaraan dalam penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwa keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan acara pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggrakan di luar dingklik kuliah? Meresponi sinyalemen tersebut, berdasarkan Amin Abdullah,
pangkal tolak kesuliatn pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas sepertinya tidaklah salah.
Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romatis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.[14]
Dengan demikian secara sederhana sanggup ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaiman yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak sanggup diberlakukan kepadanya pradigma ilmu pengetahuan, yaitu pradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romatis, apologis, dan subjektif, sedangkan jikalau dilihat sagi histori, yakni Islam dalam arti yang dipraktikan oleh insan serta flora dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam sanggup dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Keislaman atau Islam Studies.
Ketika islam dilihat dari sudut normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi anutan Tuhan yang berkaitan dengan urusan kepercayaan dan muamalah.[15] Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tmapak dalam masyarakat, Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Stuies).
Selanjutnya, studi Islam sebagaimana dikemukakan di atas berbeda pula dengan apa yang disebut sebagai sains Islam. Sains Islam sebagaimana dikemukakan Hussein Nasr yaitu sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin semenjak periode Islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam.
Selama kurang lebih 700 tahun, semenjak periode kedua hingga kesembilan Masehi, peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif dibandingkan peradaban mana pun di wilayah sains, dan sains Islam beradapada garda depan dalam aneka macam kegiatan, mukai dari kedokteran hingga astronomi[16]
Dengan demikian sains Isalam mecakup aneka macam pengetahuan modern menyerupai kedokteran , astronomi, matematika, fisika dan sebagainya yang dibangun atas instruksi nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam yaitu pengetahuan yang dirumuskan dari anutan Islam yang dipraktikan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedang pengetahuan agama yaitu pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, menyerupai anutan perihal akidah, ibadah, membaca Al Qur’an dan akhlak.
Dari tiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan Madrasah Diniyah, yaitu forum pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan agama; Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi Islam yang mencakup Tafsir, Hadist, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayan Islam dan Pendidikan Islam. Kemudian muncul pula Universitass Islam yang id dalamnya diajarkan aneka macam ilmu pengetahuan modern yang berbuasa Islam yang selanjutnya disebut Sains Islam.
d. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alima, artinya pengetahuan, dan ini sama dengan kata dalam bahasa Inggris, science, yang berasal dari bahasa latin, scio atau scire, yang kemudian di Indonesiakan menjadi sains. Kata ilmu dalam bahasa Arab yaitu ‘ilm yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan perembesan katanya, ilmu pengetahuan sanggup berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial sanggup berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.[17]
Sehingga sanggup diartikan, ilmu yaitu pengetahuan perihal sesuatu bidang yang disusun secara bersistem berdasarkan metode tertentu yang sanggup dipakai untuk membuktikan tanda-tanda tertentu.[18]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli semenjak dingklik sekolah dasar hingga penddikan lanjutan dan perguruan tinggi.[19] Fungsi dari ilmu atau pengetahuan ilmiah yaitu menjelaskan, meramal, dan mengontrol.
Ilmu sains atau ilmu pengetahuan yaitu seluruh perjuangan sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman insan dari aneka macam segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi biar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memperlihatkan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan sanggup secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk lantaran insan berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan yaitu produk dari epistemologi (filsafat pengetahuan).
Ilmu atau pengetahuan ilmiah merupakan salah satu jenis pengetahuan dalam kehidupan manusia. Ilmu yaitu pengetahuan sistematis dan taat asas perihal suatu obyek tertentu, yaitu tanda-tanda alamiah, tanda-tanda sosial, dan tanda-tanda budaya. Gejala-gejala tersebut relative konkrit, dalam arti sanggup diamati dan sanggup diukur. Apabila disusun ciri tanda-tanda yang dikaji mulai dari yang konkrit hingga yang abstrak, maka rumpun dan disiplin ilmu tersusun secara hierarkis, mulai dari fisika, kimia, biologi; kemudian ilmu social dan ilmu hukum; hingga falsafah dan ilmu agama.[20]
Ilmu agama Islam merupakan belahan dari rumpun ilmu-ilmu budaya dan ilmu-ilmu social. ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadits, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh,ilmu fiqh dan sejenisnya masuk dalam rumpun ilmu budaya (humaniora) yang bersifat ideal dan normative. Sejarah peradaban Islam, ilmu pendidikan Islam dan ilmu dakwah masuk dalam rumpun ilmu-ilmu social yang sifatnya nyata dan empiris. Juga terdapat disiplin ilmu lain yang berkembang terutama dalam rumpun ilmu-ilmu alamiah, antara lain astronomi dan geologi.[21]
Perintah menuntut ilmu dalam Alqur’an dan hadits mendorong kaum muslimin pada periode pertama hijrah untuk menerjemahkan aneka macam buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan China ke dalam bahasa Arab. Kemudian para filsuf muslim mengklasifikasi ilmu-ilmu tersebut secara sistematis. Ini menjadi dasar bagi para ilmuwan muslim untuk mengembangkan sains, terutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya (matematika dan logika).
Nurcholis Madjid menjelaskan perihal relasi organik antara iman dan ilmu Islam. Menurutnya, ilmu yaitu hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya.[22]
Sejalan dengan argument ini juga dijelaskan oleh Ibnu Rusyd, seorang filosof muslim, dalam makalahnya “Fashl al-maqal wa Taqrir ma Bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal”, bahwa antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun sanggup dibedakan. Dikatakan demikian lantaran iman tidak saja mendorong bahkan juga menghasilkan ilmu serta membimbing ilmu dalam pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya. Ilmu juga berbeda dari iman lantaran ilmu bersandar pada observasi terhadap alam dan disusun melalui proses pikiran sehat rasional (berpikir),
sedangkan iman bersandar pada perilaku membenarkan atau mendukung pembenaran informasi yang dibawa oleh pembawa berita, yaitu nabi, yang memberikan informasi tersebut kepada umat insan selaku utusan Allah (Rasul).[23]
e. Pengertian Ilmu Keislaman
Ilmu keislaman yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam. Pada awalnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qiraah, tafsir dan hadis. Kemudian menyusul ilmu fikih, ilmu-ilmu ini bertambah dan berkembang sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat.
Pendidikan Islam Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.
Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada belum dewasa itu, biar mereka sebagai insan dan sebagai anggota masyarakat sanggup mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
f. Awal perkembangan Studi Islam
Ilmu keislaman pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat studi Islam klasik yaitu Makkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir). Studi Islam kini ini berkembang hampir diseluruh negara didunia, baik didunia Islam maupun bukan negara Islam. Didunia Islam terdapat pusat-pusat studi, menyerupai Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi.
Di Indonesia, studi Islam (ilmu keisalaman tinggi) dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan dibeberapa negara antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London dan Kanada . begitulah studi Islam semenjak zaman awal pembentukan Islam hingga kini ini.
g. Pengembangan Ilmu Keislaman
Kajian ilmiah untuk ilmu-ilmu keislaman bisa dilakukan dengan memperhatikan dua hal. Pertama, Ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist shahih, terutama yang termasuk dalil qath’i dilarang digugat. Kedua, yang menjadi kajian yaitu hasil ijtihad ulama yang merupakan produk manusia; sehingga hampir semua ilmu keislaman bisa menjadi lapangan kajian ulang secara kritis sehingga memungkinkan untuk berkembang.
Saat ini sudah saatnya untuk merekonstruksi yang diawali dengan dekonstruksi ilmu-ilmu keislaman yang sudah dianggap baku, dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1) Hasil karya ulama yang kemudian yang selama ini ditempatkan sebagai doktrin hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad ulama terdahulu. Disini diharapkan adanya ’’humanisasi ilmu-ilmu keislaman’’ sehingga doktrin yang sakral tersebut menjadi sesuatu yang bisa tersentuh manusia.
2) Melihat hasil ijtihad tersebut secara kontektual, sehingga menjadi hidup dan mempunyai nilai. Dengan demikian, kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa lampau perlu dikembangkan.
3) Setelah bisa membuat kontekstualisasi, barulah akan bisa mengadakan reaktualisasi. Proses dekonstruksi–rekonstruksi yang mencakup relatifisasi doktrin ilmu-ilmu keislaman tersebut harus diimbangi dengan arah timbal balik mereposisi yang selama ini dianggap sekuler. Ilmu-ilmu yang selama ini dianggap sekuler itu hendaknya diadakan ’’sakralisasi’’ atau lebih tepatnya derma nilai-nilai agama sehingga akan semakin erat dengan ilmu-ilmu keislaman.
Dalam konteks dekonstruksi–rekonstruksi ini perlu dikaji secara mendalam dan serius terhadap pemikiran-pemikiran ulama klasik secara akademis, obyektif dan sanggup dipertanggungjawabkan secara akademik pula. Sebagai contoh, selama ini, khususnya diindonesia ketika menyebut nama al-Ghazali, termasuk ketika akan mengkaji pemikirannya, sudah terjadi keputusan evaluasi terlebih dahulu sehingga hasilnya akan sangat bias.
Disini akan muncul dua kelompok masyarakat yag berbeda. Pertama, sebelum mengkaji sudah membuat keputusan kehebatannya, bahkan ada yang mengelompokkan sebagai orang suci yang tidak bersalah, sehingga tidak ada lagi bisa melaksanakan kajian kritis, atau bahkan tidak berani
melakukannya lantaran khawatir dianggap su’ul adab. Kedua, sebelum mengkaji sudah su’uzhan dan menilai negatif terlebih dahulu sehingga apapun yang dihasilkan Al-Ghazali yaitu buruk dan negatif. Kalau dunia pendidikan masih terbawa kebiasaan menyerupai itu berarti kita belum bisa hidup didunia akademaik. Kalau buku-buku filosof menyerupai Plato, Aritoteles dan lainnya masih saja menjadi rujukan dan dianggap sebagai buku klasik dan serta masih dikaji, mengapa ilmu-ilmu keislaman tidak banyak disentuh dan dikaji secara mendalam ? ini memperkuat anggapan kita bahwa problemnya tolong-menolong bukan pada esensinya, tetapi pada pendekatan dan operasoinalisasinya.[24]
h. Ilmu Keislaman di Indonesia
Pada awal perkembangannya Islam di Indonesia, pendidikan Islam di Indonesia dilaksanakan secara informal. Agama Islam tiba ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim.
Dalam operasionalisasinya, mereka melaksanakan pendidikan dan membuatkan agama Islam dengan perbuatan, dengan referensi dan suri tauladan. Pada waktu itu para pendakwah Islam melaksanakan penyiaran. Agama Islam kapan saja., dimana saja, dan kepada siapa saja yang ditemui oleh mereka. Pendidikan dan pengajaran secara informal ternyata membawa hasil yang sangat baik. Mereka dibiasakan untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan dengan didahului membaca basmalah. Usaha-usaha pendidikan agama dimasyarakat yang kelak dikenal dengan pendidikan non formal. Dimasyarakat yang kuata agamanya ada tradisi yang mewajibkan belum dewasa yang sudah berumur 7 tahun.
Modal pokok yang dimiliki mereka yaitu semangat menuntut ilmu agama bagi anak-anak. Implementasi pendidikan dipusat-pusat pendidikan non formal menyerupai surau, langgar, masjid, serambi rumah sang guru yaitu berkumpul murid besar dan kecil, acara itulah yang menjadi cikal-bakal didirikannya pesantren, yang mana tingkatan global pendidikannya disebut madrasah, kemudian dipecah menjadi tiga tingkatan (ibtidaiyyah, tsanawiyah dan ‘aliyah).
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, maka sanggup di simpulkan bahwa, Metodologi yaitu ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) klarifikasi serta menerapkan cara.
Ilmu Keislaman yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam. Pada awalnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qiraah, tafsir dan hadis. Kemudian menyusul ilmu fikih, ilmu-ilmu ini bertambah dan berkembang sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat.
Sedangkan pada dahulu penerapan Ilmu Keislaman pada zaman awal dilaksanakan dimasjid-masjid. Mahmud yunus menjelaskan bahwa pusat studi Islam klasik yaitu mekkah dan madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir).
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000).
Yatimun Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005).
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
M. Djaelani, Ensklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007).
Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Abdul Rozak, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta;1996).
Mircea Aliade, W.C. Smith, et.all, Metodologi Studi Agama, penerj. Ahmad Norma Permata, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
[1] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 11
[2] M. Djaelani, Ensklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), cet. I, hlm. 146.
[3] Abdul Rozak, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 68
[4] Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 27
[5] Abdul Rozak, loc.cit, hlm. 68
[6] Ibid., hlm. 68
[7] Mukti Ali, 1990 : 40
[8] A.Mukti Ali,Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), dalam Metodologi Penelitian Agama Sebuah Penghantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), cet.II, hal. 44
[9] A.Mukti Ali, Op. cit., hal.44
[10] Francis Bacon yaitu andal filsafat dan negarawan Inggris. Sahamnya yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan yaitu metode induktif dari ilmu eksperimental modern.
[11] Roger Barcon yaitu andal filsafat skolastik Inggris. Ia pada zaman modern ini selalu diperingati lantaran perhatiannya pada ilmu alam, eksperimen dan observasi langsung. Ia menganggap bahwa sains yaitu suplemen dan tidak bertentangan dengan iman. Lihat Sayyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (terj.) Hasti Tarekat, dari judul orisinil A Young Muslim’s Guide In The Modern World, (bandung: Mizan, 1995), cet.II, hal. 162-163.
[12] Ibid.,hlm.45
[13] Ibid.,hlm.46
[14] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta;1996), cet.I,hlm.106.
[15] Cara melihat Islam sebagai sebuah norma ini contohnya dijumpai pada pemikiran Mahmdu Syaltout yang membagi Islam pada urusan kepercayaan dan muamalah dalam bukunya berjudul Al-Islam Aqidah we Syari’ah; dan pada Maulana Muhammad Ali dalam bukunya berjudul Islamologi yang menyampaikan bahwa Islam terdiri dari anutan keimanan yang merupakan pokok dan anutan ibdah yang merupakan cabang.
[16] Sayyed Hussenin Nasr, Menjelajah Dunia Modern,op.cit.hal. 93
[17] http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu,diunggah hari Sabtu, 18 Oktober 2014.
[18] http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/pengertian-ilmu.html, diunggah hari Sabtu, 18 Oktober 2014.
[19] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 19.
[20] , diunggah hari Sabtu, 18 Oktober 2014.
[21] Lihat: Henri Marginau dan David Bergamini, The Scientist, (New York: Time Corporated, 1964), hlm. 86-99
[22] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 3-4.
[23] Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 18.
[24] Dony Eko Setiadi, Strategi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman dalam Era Globalisasi, di http://google.co.id pada Senin, 20 Oktober 2014.
Demikian artikel yang sanggup kami berikan perihal '' Makalah Metodologi Pendidikan Islam ( METODOLOGI STUDI ISLAM METODOLOGI DAN PENGEMBANGAN ILMU-ILMU KEISLAMAN ) ''. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi referensi anda untuk kiprah kuliah atau yang lainnya.
Baca juga :
Makalah tentang Metodologi Pendidikan Islam
Advertisement