JERIMAH PEMERKOSAAN
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : fiqh jinayah
Dosen pengampu : ........................
Disusun oleh :
.................................................................
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH (AS)
TAHUN XXXX
A. PENDAHULUAN
Perkosaan tidak sanggup hanya merupakan duduk kasus antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan duduk kasus hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan kontribusi dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Hal itu harus di-lawan karena merupakan manifestasi ketidak adilan sehubungan dengan kiprah dan perbedaan jender, di samping manifestasi lainnya menyerupai marginalisasi, sub-ordinasi, pelabelan negatif terhadap kaum perempuan ( Fakih, 1996: 13-15). Tindak kekerasan tersebut diistilahkan sebagai kekerasan gender terhadap perempuan (gender-related violence), dan dikategorikan P B B sebagai Gender-based abuse (dalam Cholil, 1996:1).
Perkosaan sebagai pelanggaran hak azasi manusia, merupakkan suatu prosedur untuk membatasi ruang gerak perempuan dalam bentuk terorisme seksual yang menyerang dan merugikan hak-hak privasi berkaitan dengan seksualitas, dan juga menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang harus dihormati secara kolektif.
Hak yang dilanggar bersifat fundamental, ialah hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan tertinggi termasuk kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi (Cholil, 1996:6) artinya bukan hanya bebas dari kesakitan dan gangguan penyakit, tetapi berarti pula setiap orang memiliki kemampuan untuk, antara lain: melaksanakan dan menikmati kekerabatan seksual secara aman. Ini menjadi hak seksual dan reproduksi (dalam Wattie, 1996:189), di antaranya bodily integrity. Kekerasan terhadap wanita, dalam hal ini perkosaan, apabila dibiarkan berkembang menjadi rintangan terhadap pembangunan.
B. PERMASALAHAN
1. Apakah aturan di indonesia lemah melihat banyaknya permasalahan pelecehan seksual terjadi dimana-mana ?
1) Kelemahan Hukum
Perkosaan harus ditanggulangi, salah satu sarananya dengan aturan pidana. Tumpuan pada aturan akan menghadapi probelmatika ketidak-mampuan aturan dalam bekerjanya untuk menangani tindak pidana perkosaan.Rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 kitab undang-undang hukum pidana dinilai diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita. Di mata aturan pidana Indonesia khususnya kasus perkosaan keberadaan perempuan diperkecil maknanya menjadi vagina saja, diatur hanya kalau vaginanya terganggu (Indarti, 1993:6). Perumusan pasal perkosaan menawarkan standar nilai/moral yang digunakan masyarakat dalam memperlakukan perempuan khususnya isteri. Seorang isteri dalam kekerabatan seksual tidak memiliki hak apapun terhadap suaminya (Katjasungkana, 1995: 18). Sehubungan dengan itu, bukan saja Pasal 285 kitab undang-undang hukum pidana perlu diganti, akan tetapi juga nilai-nilai sosial budaya dan mitos-mitos yang mengisyaratkan adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan atau sesamanya perlu diganti (Susanto, 1992:2).
2) Pendekatan Cara Berfikir Hukum
Untuk menyikapi segala ketidak-mampuan aturan tersebut yang utama diharapkan perubahan cara berfikir aturan para penegak hukum. Analitik-positivistik (Rahardjo, 2000:10) tidak sanggup lagi dipertahankan untuk mendasari penanganan kasus perkosaan, yang memanifestasikan bahwa melihat aturan itu semata hanyalah undang-undang sebagai peraturan tertulis.
Bagi pegawapemerintah penegak hukum, sehubungan dengan perkembangan pedoman kini mengenai kedudukan perempuan dan upaya kesetaraan-jender perlu mendasarkan pedoman yuridis yang mengaitkan efek-sosialnya dengan pembentukan norma hukum, sehingga penting memperhatikan latar-belakang kemasyarakatannya. Hal ini sebagai metoda yuridis dalam arti luas, dengan daya-dukung: aturan yang hidup dalam masyarakat, serta memanfaatkan instrument: metoda penafsiran, seperti yang ekstensip, sosiologis, atau futuristik, dan juga mendayagunakan: aneka macam pasal kitab undang-undang hukum pidana mengenai pelecehan seksual.
Dengan demikian, bukan hal yang ditabukan untuk memperluas pengertian unsur persetubuhan sebagai perbuatan kekerabatan seks pada umumnya yang tidak hanya menyangkut alat-genital atau reproduksi melainkan termasuk laku-oral,anal dan lain-lain tindakan akhir dorongan seksual.Demikian pula, penafsiran mengenai paksaan dan ancaman kekerasan.
Keberanian aparat penegak aturan untuk bersikap menyerupai itu, apabila dalam penegakan aturan dilandasi suatu visi, ialah semenjak proses penyelidikan sampai putusan hakim, dan hukuman berorientasikan pada kepentingan korban.Pertanyaannya bukan hanya: siapa pelakunya,perbuatannya apa, akan tetapi juga bagaimana nasib korban.
Hukuman bagi pelaku pelecehan seksual di samping orang tersebut yang melanggar hak asasi insan juga di berikan hukuman yang tegas berupa pidana Sanksi berat dimaksudkan untuk memberi imbas jera bagi pelaku pelecehan seksual dan memberi peringatan kepada khalayak untuk tidak sekali-kali mencoba melaksanakan kejahatan ini.
KEPUSTAKAAN
Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Fakih, Mansour. 1996. Gender sebagai Analisis sosial. JURNAL ANALISIS SOSIAL Edisi 4: 7-20.
Advertisement